Cita-citaku Ingin Jadi Presiden

Posted in Kolom on Juli 26, 2008 by rizalmallarangeng

Oleh: Rahman Andi Mangussara

Liputan6 SCTV, 21/07/2008 16:27

Semasa kecil dulu, sebagian di antara kita, jika ditanya oleh ibu, bapak, oom, tante, saudara atau siapa saja, apa cita-citamu, salah satu yang sering kita sebut adalah, “Aku ingin jadi presiden.” Tak terbayang di benak kita betapa cita-cita itu begitu susah untuk digapai.

Berbeda jika cita-cita kita ingin jadi tukang insinyur atau tukang dokter, menjadi presiden tidak saja membutuhkan banyak syarat tapi posisi ini hanya tersedia untuk satu orang, sehingga intensitas persaingan menuju kursi presiden amat ketat. Tapi, namanya juga masih bocah ditambah idealisasi kanak-kanak kita mengenai jabatan presiden yang amat mulia, membuat kita memasukkan posisi presiden sebagai salah satu cita-cita. Saya sendiri tidak pernah bercita-cita jadi presiden, mungkin karena sadar tidak punya potongan untuk itu–kira-kira, meminjam istilah Tukul, katrolah gitu.

Belakangan ini, sejumlah orang muda, yang mungkin mengingat kembali cita-cita masa kecilnya, berniat untuk maju menjadi presiden. Sebut saja, Rizal Mallarangeng dan M. Fadjroel Rachman. Jauh sebelumnya, Zulvan Lindan juga mencalonkan diri menjadi orang nomor satu negeri ini. Di waktu-waktu mendatang, mungkin kita masih akan menyaksikan banyak anak muda mencalonkan diri jadi pemimpin Indonesia.

Apakah ada yang salah? Jelas tidak ada. Bagi mereka yang muak dengan kepemimpinan orang-orang tua (berapa persisnya umur seseorang untuk bisa dikategorikan muda atau tua, tidaklah jelas benar dan tidak ada definisi yang baku. Tapi sebagian orang sepakat umur di bawah 50 tahun bisa disebut orang muda dalam kategori politik), pasti akan berteriak, “Saatnya orang muda memimpin.” Bukan soal umur betul yang membuat kita mendukung anak muda itu untuk ikut bertarung jadi presiden, tapi memang karena tidak ada aturan yang melarangnya. Siapa pun, dalam demokrasi, sah mengajukan diri jadi presiden.

Anak-anak muda yang berlomba jadi calon presiden itu jelas membawa udara segar dalam dunia politik Indonesia. Minimal tidak ada lagi rasa sungkan bahwa untuk jadi presiden harus tua terlebih dulu. Jangan seperti kata iklan, “Kalau belum tua belum bisa bicara.” Pokoknya anak muda maju jadi presiden, top markotop, mantap surantap. Dari semua anak muda yang menyatakan maju jadi calon presiden itu, mungkin Rizal Mallarangeng yang paling getol, dan boleh jadi paling siap. Doktor ilmu politik berusia 44 tahun ini menyebar iklan di banyak televisi dan termasuk iklan luar ruang, sedangkan yang lain baru sebatas berkampanye di dunia maya.

Jika sudah memasang iklan di televisi, itu berarti urusannya dengan uang yang tidak sedikit jumlahnya. Harga iklan pada waktu tayang utama, antara pukul 18.00 hingga 22.00 berkisar Rp 18 juta hingga Rp 25 juta per 30 detik. Nah, silakan menghitung jumlah uang yang harus disediakan jika Anda beriklan di televisi. Karena melibatkan uang sebanyak itulah, saya berasumsi Rizal tidak sedang bermain-main. Sementara Fadjroel, hingga tulisan ini dibuat, belum lagi muncul iklannya di televisi, tapi sudah berkampanye di Internet.

Tapi kendaraan apa yang akan dipakai anak-anak muda itu untuk menuju kursi presiden? Bukankah, di luar Zulvan Lindan, mereka tidak menjadi kader partai politik. Sepanjang yang kita ketahui, baik Rizal maupun Fadjroel, tidak menjadi anggota partai politik. Karena calon independen belum diakomodasi dalam pemilihan presiden 2009, saya berasumsi bahwa jika anak-anak muda itu mau maju jadi presiden, mereka harus memiliki kendaraan partai politik.

Jika hal itu yang terjadi, artinya ada parpol yang meminang mereka, betapa buruknya sistem politik yang kita bangun. Orang bisa masuk kancah politik tanpa harus berkeringat di dalam partai. Lantas apa gunanya jadi anggota atau kader partai, jika toh kelak yang maju jadi pemimpin adalah orang luar.

Jangan karena seseorang terkenal, katakanlah artis, lalu dilamar atau melamar ke partai untuk maju dalam Pemilu atau Pilkada. Lama-lama tidak akan ada orang mau bergabung ke partai, dan mereka memilih jalur artis untuk kemudian mencalonkan diri jadi pemimpin. Kita harus menempatkan partai politik sebagai arena rekrutmen kader, bukan yang lain. Masuk dan bangunlah partai jika ingin terjun ke politik. Jika tidak, ambil jalur independen.

Surat untuk Semua

Posted in Notes on Juli 24, 2008 by rizalmallarangeng
RM09

RM09

Oleh: Rizal Mallarangeng

Saya ingin mengucapkan terima kasih atas perhatian dan simpati Anda semua, baik yang berada di tanah air maupun yang di luar negri. Dalam waktu singkat, lewat Facebook, milis-milis di internet, maupun media massa konvensional di tanah air, begitu banyak yang memberi komentar, salam persahabatan, dukungan, pertanyaan, keraguan, hingga kritik yang tajam terhadap saya.

Teknologi membuka berbagai kemungkinan baru, termasuk dalam menyatukan perhatian beragam komunitas dari berbagai belahan dunia untuk menyampaikan pendapat secara cepat dan personal. Hal ini tentu perlu disambut dengan tangan terbuka.

Saya minta maaf sebab tidak mungkin membalas satu persatu sapaan yang datang kepada saya.

Dalam kesempatan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa alasan utama bagi saya untuk tampil sekarang adalah untuk memberi alternatif baru dalam proses pemilihan kepemimpinan nasional. Sebenarnya, soal ini bukanlah soal saya sebagai pribadi, tetapi persoalan sebuah generasi dan sebuah bangsa yang harus terus bergerak maju.

Sejak 10 tahun terakhir, pilihan-pilihan kepemimpinan nasional tidak banyak berubah. Gus Dur dan Amien Rais tampaknya masih ingin ikut pemilihan presiden tahun depan, mendampingi Presiden SBY dan Wapres Kalla serta Megawati. Begitu juga Jenderal (purn) Wiranto dan Letjen (purn) Probowo. Mungkin Sultan Hemengkubuwono X dan Letjen (purn) Sutiyoso juga akan turut serta.

Saya menghormati tokoh-tokoh senior tersebut. Tapi apakah pilihan kepemimpinan nasional harus berkisar hanya di seputar mereka, sebagaimana yang terjadi setelah Soeharto lengser? Apakah di Indonesia terjadi stagnasi dalam sirkulasi kepemimpinan nasional, sehingga wajah-wajah baru tidak mungkin muncul sama sekali? Jika di Amerika Serikat muncul Obama (47 tahun) dan di Rusia ada Medvedev (44 tahun), mengapa kita tidak? Bukankah Republik Indonesia sebenarnya dipelopori oleh para tokoh yang saat itu berusia muda, seperti dr. Tjipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Sjahrir?

Somebody has to do something. Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang dinamis, berjalan mengikuti perubahan zaman dengan membuka diri terhadap berbagai kemungkinan baru. Kita harus berkata kepada para senior tersebut, we respect you, Sir and Madam. But please give some space to our new generation. Sudah saatnya generasi baru kepemimpinan di Indonesia turut serta dalam penentuan kehidupan bersama pada level politik yang tertinggi.

Pemikiran seperti itulah yang memberanikan saya untuk tampil sekarang. Dengan segala kelemahan yang ada, saya bersyukur mendapat kesempatan untuk melakukannya. Memang, kalau dipikir-pikir, kata beberapa kawan dekat saya, keputusan itu agak gila sedikit. Lebih banyak beraninya ketimbang pertimbangan yang dingin dan rasional.

Saya bukan menteri atau mantan menteri. Saya bukan ketua umum partai, bukan presiden atau mantan presiden, bukan jenderal berbintang, bukan anak proklamator, bukan pejabat tinggi, bukan bekas panglima TNI, bukan pula orang kaya raya atau anak orang kaya raya. “Rizal,” kata kawan-kawan dekat saya itu, “you are a bit crazy. No, damn crazy!”

Bahkan, bukan hanya kawan-kawan saya saja, bekas guru besar saya di Columbus, AS, yang sangat saya sayangi pun, Prof. Bill Liddle, berkomentar lirih, “the time is not yours yet. My dear Celli (nama kecil saya), you don’t have any chance whatsoever.”

Terhadap semua itu, saya hanya bisa menjawab, “mungkin anda benar.” Semboyan kampanye saya pun bunyinya rada mirip, If there is a will, there is a way. Pada tahap awal ini, yang ada hanyalah kehendak, kemauan, keberanian, and almost nothing else. Terhadap Bill Liddle saya sempat membalas emailnya dengan kalimat ini: Pak Bill, the “will” is here, and I am working out the “way”.

Mungkin saya akan berhasil, mungkin pula tidak. But let me say this: soalnya bukanlah kalah dan menang, sukses atau tidak. Bahkan sebenarnya, seperti saya telah saya singgung tadi, soalnya bukanlah tentang Rizal Mallarangeng atau siapa pun. Soalnya adalah soal sebuah generasi dan sebuah negri yang kita cintai yang harus bergerak maju, membuka peluang dan kemungkinan-kemungkinan baru.

If what I do will not fly anywhere, saya secara pribadi sudah cukup puas karena saya sudah mencoba menunjukkan bahwa Indonesia tidak membeku, stagnan dengan pilihan-pilihan yang itu-itu saja selama bertahun-tahun.

Namun, kalau toh ada sedikit harapan yang bisa dikatakan saat ini, saya sebenarnya menangkap sebuah isyarat, bahwa dalam masyarakat kita ada sebuah kerinduan terhadap sesuatu yang baru dan segar. But it is much too early to bet on this.

Untuk sementara, saya sudah merasa senang bahwa sekarang sudah mulai ada wacana yang memperbincangkan generasi baru sebagai pilihan kepemimpinan. Kita telah memecahkan glass-ceiling yang membatasi kita selama ini dalam membicarakan kemungkinan baru tersebut di forum publik.

Dengan wacana akan pilihan baru tersebut, siapa pun orangnya, kita bisa mengatakan kepada dunia, bahkan kepada diri kita sendiri, we are a country on the move. Zaman berubah, Indonesia berubah. Zaman bergerak, Indonesia bergerak.

Buat saya secara pribadi, tentu semua itu mengandung dua sisi, sebagaimana setiap hal yang kita lakukan dalam kehidupan ini. This is a serious business, but I am taking it easy. Memang, ada beberapa hal yang menuntut pengorbanan dalam berbagai hal, termasuk kritik pedas terhadap diri saya pribadi. Tapi, saya sengaja memulai semua ini dari Banda Neira, salah satunya dari bekas rumah pengasingan dr. Tjipto Mangunkusumo, sebagaimana yang terlihat dalam iklan dari Sabang sampai Merauke.

Entah kenapa, saya tidak pernah berhenti kagum terhadap tokoh pergerakan kebangsaan yang satu ini, sejak masih mahasiswa sampai sekarang. Dia lahir tahun 1886 dan menjadi dokter generasi pertama hasil didikan Belanda. Sebagai dokter muda di tahun 1920an, dia sebenarnya bisa menduduki posisi sangat terhormat sebagai pegawai pemerintah jajahan, apalagi dia pernah mendapat penghargaan tinggi dari Belanda, Order van Oranye, karena keberhasilannya membasmi wabah pes di Malang.

Tapi ternyata dia memilih jalan berbeda dan, bersama Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara, meletakkan batu pertama perjuangan politik menuju Indonesia merdeka. Dan karena itu, dia diasingkan ke Banda Neira. Di pulau terpencil inilah, di rumah yang disediakan Belanda, ia melewati hari-harinya selama 12 tahun, 1927-1939. Ia meninggal sebelum sempat menyaksikan negri yang dicintainya berhasil merebut kemerdekaan.

Bagi saya, dr. Tjipto Mangunkusumo adalah sebuah inspirasi, sebuah cerita kehidupan tentang kerelaan menanggung konsekuensi dari sebuah cita-cita. Dan setiap orang, setiap kali mengambil tindakan penting, pasti mengalami hal yang sama, dalam konteks yang berbeda-beda.

Dalam konteks saya, pengorbanan yang ada terlalu kecil untuk menjadi bahan cerita. Yang ada adalah rasa terima kasih kepada banyak sahabat yang telah mendorong dan memungkinkan langkah yang saya tempuh. This is a road less-traveled by, dan karenanya saya pun belum bisa menerka titik akhir dari perjalanan ini. Semuanya bergantung pada dukungan anda dan masyarkat umumnya.

Sejauh ini, satu hal yang menyenangkan saya adalah begitu banyaknya perhatian dan tanggapan dari warga Indonesia yang sedang belajar maupun bekerja di luar negri– Amerika Serikat, Jepang, Inggris hingga Bahrain. Dari Sabang Sampai Merauke yang saya tampilkan di Youtube dapat disaksikan dari seluruh belahan dunia, secara serempak, kapan saja, dan dalam situasi apa saja.

Saya pernah sekolah, mengajar dan hidup 8 tahun di Columbus, AS. Saat itu belum ada Youtube, dan saya teringat betapa menyenangkannya mendapat kabar yang hangat dari tanah air. Tapi waktu itu hanya ada bacaan koran dan email. Dengan teknologi baru, apa yang dilihat dan didengar di Metro TV, SCTV, RCTI dan TVOne oleh warga kita di Wamena, Jayapura juga bisa disaksikan oleh mahasiswa kita di Tokyo, Washington DC., dan kota-kota lainnya di dunia.

Hal tersebut patut disyukuri. Kerinduan begitu banyak warga kita di luar negri akan kehangatan berita di tanah air, serta keterlibatan dalam peristiwa atau isu yang sama, dapat terpuaskan. Hal ini membawa dampak positif, berupa ikatan kebangsaan yang makin menebal, yang melewati tapal batas negara. Perasaan memiliki tanah air yang sama dan semangat yang sama akan semakin kental, walaupun, atau justru ketika, derap globalisasi semakin intensif.

Kalau saya boleh mengungkapkan kegembiraan, itulah yang bisa saya katakan sekarang. Saya sudah menyiapkan dua lagi iklan susulan, yang masing-masing akan dimuat selama 2 minggu di berbagai tv nasional dan lokal, hingga setelah 17 Agustus nanti. Ketiga seri iklan inilah yang saya sebut sebagai Trilogi Harapan Baru dan menjadi dasar filosofis dari awal kampanye saya. Mudah-mudahan sambutan terhadapnya juga akan sebaik yang ada saat ini.

Kepada kawan-kawan yang masih belum puas pada jawaban sementara ini, saya mohon maaf. Selain buku saya yang sudah terbit beberapa tahun lalu (Mendobrak Sentralisme Ekonomi, Penerbit: Pustaka Gramedia, 2002), dan banyak tulisan-tulisan saya di berbagai media massa (dapat dilihat di http://www.freedom-institute.org), saya memang masih butuh waktu untuk merumuskan hal-hal yang lebih kongkret.

Pada saatnya nanti, saya akan menjelaskan semua pemikiran saya, yang saya harapkan dapat sedikit menjawab begitu banyak pertanyaan yang ada.

Salam hangat.

Jakarta, 22 Juli 2008

Rizal Mallarangeng, Presiden 2009?

Posted in Kolom with tags on Juli 19, 2008 by rizalmallarangeng

Oleh: Jeffrie Geovanie

Rakyat Merdeka, Senin, 14 Juli 2008

NAMA di atas pada salah satu kolom saya mengenai perlunya memudakan pemimpin beberapa waktu lalu, sudah saya sebut sebagai salah satu tokoh muda dari kalangan intelektual yang mempunyai peluang untuk merebut tongkat estafet kepemimpinan Indonesia berikutnya.

Mengapa Rizal Mallarengeng (RM) kita anggap layak tampil di jajaran yang diperhitungkan sebagai pemimpin nasional? Selain soal kualitas yang tak perlu diragukan lagi sebagai calon pemimpin, iklan-iklan dirinya di beberapa stasiun televisi yang cukup gencar membuat wajah dan namanya cukup dikenal publik. Bahkan untuk sebuah iklan politik yang terus-menerus tampil secara utuh dan memikat, tentu akan sangat mengesankan dan memberikan inspirasi yang kuat bagi para penontonnya.

Jika dibandingkan dengan iklan-iklan politik lainnya, yang juga banyak kita jumpai di layar televisi, rasanya iklan RM lebih maju dalam hal menunjukkan untuk apa iklan itu dibuat. Kalau kita perhatikan, ada kode “RM09” di signature picturenya.

Lazimnya, dalam paraf/tandatangan, pencantuman kode tahun disesuaikan dengan waktu kapan paraf/tandatangan itu dibubuhkan. Tapi mengapa yang dicantumkan justru tahun 2009 yang sangat identik dengan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden? Kiranya mudah bagi siapa pun untuk menduga-duga bahwa “RM09” bisa berarti inisial bernuansa politik: “Rizal Mallarangeng untuk 2009”.

RM untuk kalangan elit politik di negeri ini sudah cukup dikenal, sebagai host salah satu talk show yang sangat populer di salah satu stasiun televisi, menjadi Direktur Eksekutif Freedom Institute, setelah sebelumnya bekerja sebagai Peneliti di CSIS –pekerjaan pertamanya di Indonesia setelah menyelesaikan studi doktor di bidang ilmu politik dari Ohio State University (USA).

Apakah yang ditawarkan RM untuk masyarakat Indonesia? Bila memang benar iklannya -kita anggap saja- untuk Pilpres 2009, dengan partai apa dia akan mencalonkan diri? Apakah targetnya untuk capres atau cawapres? Tampaknya di hari-hari mendatang kita akan mendapatkan jawaban “yang lebih pasti” dari berbagai media yang kita tonton maupun kita baca.

Saya rasa sulit bagi media, baik cetak maupun elektronik untuk menghindari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, karena berbeda dengan tokoh-tokoh muda lain, RM tampak jauh lebih maju melangkah (setidaknya dengan iklannya yang mengesankan itu).

Bukan tidak mungkin iklan RM menjadi fenomena menarik pada hari-hari menjelang 2009 yang diwarnai persaingan ketat antara sang incumbent, Susilo Bambang Yudhoyono, dengan tokoh yang ingin come back to the palace, Megawati Soekarnoputeri.

Dalam politik tidak ada yang tidak mungkin. Di tengan pertarungan “dua gajah” tak selamanya mengorbankan “palanduk”. Bisa jadi, yang di tengah justru merupakan “kuda hitam” yang diharapkan tampil menjadi alternatif. Kalau memang demikian, pertanyaan apakah RM akan berkompetisi pada 2009 untuk capres atau cawapres menjadi tidak penting karena tampaknya LAYAR sudah TERKEMBANG!!.

Saatnya Kaum Muda Memimpin

Posted in Kolom on Juli 14, 2008 by rizalmallarangeng

KPO Bali, 1-15 Desember 2007.

Oleh Benni Setiawan*)

Pemuda adalah tulang punggung bangsa. Pemuda adalah generasi penerus cita-cita perjuangan dan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Di tangan pemudalah bangsa dan negara dipertaruhkan. Maka tidak salah jika ada adagium, “ketika pemuda rusak moralnya maka robohnya bangsa ini”
Mengingat keutamaan pemuda di atas, sudah sewajarnya jika pemuda mempunyai tanggung jawab mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang baik. Salah satunya dengan melanjutnya estafet kepemimpinan nasional yang saatnya ini dikuasai oleh kaum tua.
Sejarah mencacat bahwa kemerdekaan yang selama ini kita nikmati adalah jerih payah kaum muda. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari mendirikan Muhammadiyah dan NU saat usia mereka masih relatif muda. Demikian pula dengan Budi Oetomo, WR Supratman, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan lainya adalah tokoh muda yang berada dalam garis terdepan kemerdekaan bangsa ini.
Usia mereka tidak lebih dari 40 tahun. Mereka mempunyai semangat juang dalam memerdekaan bangsa dan negara dari penjajah. Ketika mereka di penjara pun, aktivitas kepemudaan seperti menulis dan diskusi menjadi hal yang biasa. Maka tidak aneh jika Soekarno, Hatta, Tan Malaka dan Pram menulis buku-buku yang menjadi sejarah di balik jeruji besi.
Ketika mereka menjadi pemimpin pun, semangat kebangsaan pun selalu menjadi panglima. Ketika kedaulatan bangsa mulai dilecehkan, maka Soekarno dengan lantang menyerukan “Ganyang Malaysia”. Hal ini tentunya berbeda dengan pemimpin Indonesia saat ini. Mereka tidak mempunyai nyali untuk menyatakan perang melawan kesewenang-wenangan Malaysia, walaupun sudah banyak korban berjatuhan di sana.
Pemimpin tua Indonesia saat ini sudah saatnya lengser keprabon (turun tahta). Sudah saatnya estafet kepemimpinan bangsa ini diserahkan kepada kaum muda yang mumpuni. Artinya, kaum muda yang benar mempunyai semangat untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan negaranya.
Pemuda yang mempunyai “ilmu linuwih” (ilmu pengetahuan tinggi) ini sudah saatnya tampil kemuka memperkenalkan dirinya. Jangan sampai kesempatan langka ini hilang begitu saja. Semangat kebangsaan kaum muda harus mulai ditumbuhkan untuk dapat memimpin bangsa besar ini. Soekarno dan Hatta adalah tokoh muda yang telah mempersiapkan diri untuk memimpin bangsa ini. Yaitu dengan pendidikan, perjuangan dan kerja keras.
Ketika pemuda tidak mempersiapkan dirinya dengan baik, maka tampuk kekuasaan sampai kapan pun akan menjadi milik kaum tua. Pertanyaannya bagaimana pemuda mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik?

Kesadaran untuk belajar

Pertama, kesadaran pemuda untuk mau belajar. Belajar adalah aktivitas sepanjang masa. Belajar tidak mesti dalam bentuk formal di sekolah maupun perguruan tinggi. Belajar dapat dilakukan di luar sekolah, seperti orang lain, lingkungan dan alam. Hal ini sesuai dengan petuah Bapak pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. “Jadikanlah semua tempat sekolah dan semua orang guru”. Petuah sederhana dengan penuh makna.
Belajar tidak mesti diformalkan dalam bentuk gedung-gedung sekolah. Kita dapat berlajar dimana saja dan kapan saja. Kita dapat belajar dari alam yang banyak mengajarkan arti kearifan, dan orang lain yang mengajarkan arti pengalaman hidup.

Gemar membaca dan menulis

Selanjutnya adalah aktivitas membaca dan menulis. Aktivitas membaca akan membuat pemuda menjadi cerdas. Membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca pemuda akan mampu menangkap dan menganalisis apa yang terjadi. Tanpa membaca seseorang akan menjadi buta realitas. Yang pada akhirnya, ia akan mudah untuk dijajah oleh kepentingan asing.
Selain membaca pemuda Indonesia harus bisa menulis. Menulis adalah aktivitas yang melibatkan banyak indera. Indera mata untuk melihat, tangan untuk menggerakkan, otak untuk berfikir dan seterusnya. Dengan menulis seseorang akan terhindar dari kepikunan. Hal ini dikarenakan menulis akan dapat meningkatkan daya ingat dan memori yang ada di dalam otak.
Aktivitas menulis juga dapat digunakan untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat. Menulis juga sebagai “protes” terhadap kemapanan dan penindasan yang dilakukan secara sistematis oleh sistem negara (pemerintah). Dengan menulis seseorang akan dapat dikenal dan ide-idenya akan menjadi acuan gerak bagi orang lain. Dan inilah yang dilakukan oleh pemuda di era tahun 1930an.

Tidak apriori

Kedua, tidak apriori terhadap partai politik. Sebagaimana mencuat dalam diskusi “Ancaman Grontokrasi dan Proses Kepemimpinan Muda” di Gedung Pers (2/8/2007). Menurut Lili Romli, kalangan muda diminta tidak meninggalkan atau menjauhi partai politik karena walau bagaimana pun elemen itu adalah elemen terpenting dalam demokrasi.
Sayangnya, katanya lebih lanjut, banyak anggapan untuk meninggalkan parpol sehingga malah memberi kesempatan bagi orang-orang yang tidak berkualitas, seperti para “preman politik” untuk masuk (Kompas, 4/08/2007).
Ketika telah ada kesadaran pemuda untuk tidak apriori terhadap parpol, harus ada pembenahan yang memadai dalam tubuh parpol. Diantaranya pentinya regenerasi. Menurut Kholis Malik dalam Imam Subhan (2003), strategi revitalisasi kaderisasi partai politik dapat dilakukan dengan cara: pertama, merubah karakter relasi internal partai menjadi lebih demokratis. Pada pengorganisasian partai yang kompleks, kewenangan dan struktur pengambilan keputusan semakin memusat pada petinggi-petinggi partai. Ini berarti bahwa dalam partai politik sendiri partisipasi para aktivis level bawah, apalagi para anggota sangatlah kecil.
Langkah demokratisasi internal partai ini pada dasarnya akan memberikan penguatan pada ”fungsi” partai politik. Bila ini telah ditempuh barulah partai politik dapat memulai langkah pendidikan politik ke sektor yang lebih luas, misalnya kepada para simpatisan dan akhirnya rakyat umum.
Kedua, mengorientasikan diri menjadi partai dengan program bersifat terbuka. Konsekuensi logisnya, partai politik dituntut untuk lebih banyak menawarkan program dibanding sekadar sentimen ideologi. Kompleksitas problem yang dialami masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan lingkungan sangat tidak mungkin disekat ke dalam faksi-faksi ideologis karena seluruh masyarakat mengalaminya. Kepentingam program riil ini bukanlah diorientasikan untuk menomorsatukan fakta-fakta nyata (empirik) dibandingkan aspek nilai dan moral, melainkan untuk memberikan ruang masyarakat agar dapat mengkritisi secara langsung kebijakan parpol. Hal ini memungkinkan masyarakat lebih otonom dan partisipatif. Bagi parpol langkah ini bermanfaat untuk memperkuat ”peran” di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, menghentikan kebijakan reaksioner yang menghalangi partisipasi rakyat secara langsung. Berbagai kecenderungan partai sentris yang melalaikan kepentingan rakyat muncul pada beberapa agenda utama reformasi, seperti dalam amandemen UUD 1945 dan penyusunan UU Pemilu dan Sistem Kepartaian, menunjukkan adanya gejala reaksioner pada partai-partai politik utama. Ketakutan memberikan lebih banyak kewenangan pada masyarakat bersumber dari rasa kurang percaya diri kalangan parpol.
Karenanya kebijakan reaksioner ini mestinya dievalusi atau malah dihentikan sama sekali. Partai-partai poltik harus berani membuka diri pada kemungkinan membesarnya kesempatan partisipasi rakyat secara langsung dalam pengambilan keputusan maupun kontrol politik.
Dengan berbekal kemampuan yang selalu diasah dengan belajar, kaum muda harus menjadi pioner parpol yang masih dikuasai oleh kaum tua. Proses regenerasi parpol harus diisi oleh pemuda yang mempunyai semangat dan kelebihan untuk mau selalu belajar.
Regenerasi parpol juga berarti regenerasi kepemimpinan bangsa. Kepemimpinan bangsa yang diisi oleh kaum muda akan membawa perubahan yang berarti. Dengan dipegangnya estafet kepemimpinan oleh anak-anak muda maka bangsa ini akan siap bersaing dengan bangsa lain sebagaimana terjadi pada masa kepemimpian Soekarno, Hatta, dan Syahrir.

*)Benni Setiawan, Peneliti pada Yayasan Nuansa Sejahtera.

Rizal Mallarangeng for President: You have my vote!

Posted in Komentar on Juli 14, 2008 by rizalmallarangeng
Ulil Abshar-Abdalla
BEBERAPA waktu lalu, beberapa tokoh muda di Jakarta mendeklarasikan suatu gerakan dengan tema “Saatnya Kaum Muda Memimpin”. Deklarasi itu, menurut saya, bagus sekali. Memang, harus terjadi peremajaan dalam kepemimpinan politik di negeri kita. Kalau tidak, maka kita akan terjerembab kedalam “gerontokrasi”, yakni kepemimpinan orang-orang tua yang, memang, umumnya bijaksana tetapi, terus terang, sudah kekurangan “sentuhan” dengan perkembangan dan gerak nadi sejarah; “out of touch with history”.

Dengan seluruh apresiasi saya pada gerakan yang sangat baik itu, ada beberapa kelemahan pokok dalam gerakan tersebut.

Pertama, anak-anak muda yang mengusung ide itu tidak menyadari bahwa telah terjadi arus “peremajaan” dalam kepemimpinan politik kita, minimal seperti terjadi dalam partai-partai politik sekarang, terutama setelah era keterbukaan partai. Banyak anak muda yang dengan mengesankan menjadi tokoh-tokoh politik yang cukup baik. Hal ini bisa kita lihat dalam sejumlah partai, seperti PKB, PPP, PDIP, PAN, dll.

Kalau yang dimaksud “kaum muda memimpin” adalah anak-anak muda yang menggerakkan ide tersebut, ya itu urusan lain. Saya kira, yang dimaksudkan dengan istilah itu adalah bukan sekedar “kaum muda” yang membuat gerakan tersebut, tetapi kaum muda secara umum. Oleh karena itu, siapa saja yang masuk dalam definisi kaum muda bisa maju dan mempersiapkan diri menjadi pemimpin.

Kedua, istilah “kaum muda memimpin” masih sangat kabur dan bisa ditafsirkan macam-macam. Memang ada segi positifnya pengertian frasa itu dibiarkan seperti apa adanya, kabur dan ambigu. Tetapi, menurut saya haruslah diberilah semacam “isyarat” apa yang dimaksudkan dengan “memimpin” di sana. Menurut saya, tanpa harus dikatakan, sebetulnya apa yang dimaksud dengan “memimpin” adalah menduduki jabatan politik tertinggi dalam negeri kita, yaitu RI-1 atau presiden.

Saya menduga, pengertian inilah yang tampaknya dimaksudkan oleh para penggerak ide di atas. Sebab, jika yang dimaksudkan dengan “memimpin” adalah pengertiannya yang umum, sebetulnya sudah banyak kaum muda yang masuk dalam sektor-sektor kepemimpinan dalam masyarakat, baik dalam ranah politik atau non-politik.

Ketiga, anak-anak muda yang mengusung ide tersebut sama sekali tak menyebut siapa anak-anak muda yang mereka anggap layak menjadi “pemimpin”, i.e. presiden. Mereka tak mencoba membangun “mesin politik” untuk mewujudkan cita-cita politik itu.

Salah satu fakta yang jarang disadari oleh kalangan muda sendiri sekarang adalah bahwa tak ada seorang tokoh muda pun saat ini yang cukup “standing out”, cukup menonjol, cemlorot, di atas rata-rata, dan semua orang memberikan pengakuan yang memadai sehingga kalau yang bersangkutan maju sebagai calon pemimpin (baca: presiden), maka semua orang akan “marching” atau “siap-satu-barisan” (istilah ini metaforis saja, jangan dimengerti secara harafiah) untuk mendukungnya.

Saat ini memang ada beberapa anak muda yang lumayan menonjol. Tetapi, kita harus jujur saja, tokoh-tokoh yang ada itu tidak kelihatan “spesial” sekali. Dengan kata lain, di satu pihak ada kehendak kuat di kalangan anak-anak muda untuk memimpin negeri ini, tetapi di pihak lain tidak tersedia “materi” atau bahan mentah yang cukup di kalangan mereka untuk menjadi pemimpin.

Itulah sebabnya gerakan kemaren itu tampaknya, mohon maaf, seperti semacam “wishful thinking” saja, alias berharap-harap yang hanya sebatas “keinginan” tanpa didukung oleh kondisi objektif.

Tak heran jika gerakan kemaren itu mendapat tanggapan yang “lukewarm” atau hangat-hangat tahi ayam saja dari kalangan partai politik. Bahkan Wapres Jusuf Kalla dan beberapa tokoh politik lain saat itu mengemukakan tanggapan yang agak kurang antusias, untuk tak mengatakan sinis.

Bermain dalam dunia politik harus “strike the balance” atau menempuh keseimbangan antara cita-cita –dan yang namanya cita-cita, tentu boleh muluk-muluk– dan kenyataan objektif. Orang-orang yang bijaksana sering berpetuah bahwa yang disebut “berpolitik” adalah memainkan semacam seni untuk mencapai “yang mungkin”.

“Mencapai yang mungkin” terjadi karena tokoh politik bersangkutan mengerti dengan baik titik-titik di mana terjadi pertemuan antara kondisi ideal yang dicita-citakan dengan kenyataan objektif. Hal ini mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan dalam kenyataan kongkrit. Yang kerapkali terjadi adalah, dan ini sering saya lihat di kalangan anak-anak muda, “kemauan besar, tenaga kurang,” untuk meminjam istilah yang agak berbau-bau (maaf) “viagra” yang sering dipakai masyarakat saat ini.

SEJAK dideklarasikannya gerakan “kaum muda memimpin” itu, saya sudah menunggu-nunggu dengan sedikit resah, siapa “cah nom” atau anak muda yang dengan sigap, niat-kuat-bulat, penuh determinasi, dan kompeten yang berani mengajukan diri sebagai calon presiden. Hingga detik-detik terakhir, saya tak mendengar satupun anak-muda, terutama dari kalangan yang mencetuskan ide di atas, yang berani tampil ke muka.

Hingga akhirnya, beberapa waktu lalu, di luar dugaan, saya mendapat kabar dari teman-teman di Jakarta bahwa Rizal Mallarangeng — yang kerap kami panggil Celli itu– berniat untuk maju dari barisan anak-muda untuk menjadi kandidat presiden. Sungguh saya tak siap menerima kabar ini.

Selama ini, Rizal sudah akrab dengan dunia politik, meskipun selalu bermain dari balik layar. Tetapi Rizal belum pernah secara terbuka masuk ke dalam gelanggang politik di barisan kursi depan.

Rizal, sepanjang pengalaman saya bergaul selama ini, adalah pekerja gigih, mempunyai determinasi tinggi, memiliki bacaan tentang teori-teori politik yang kuat, tetapi juga mengerti dengan baik betapa rumitnya gelanggang politik kongkret dalam dunia sehari-hari. Di mata saya, dialah orang yang mengerti dengan baik apa makna politik sebagai “seni bermain dengan yang mungkin” itu.

Kualitas pada Rizal yang menurut saya layak disebut adalah kemampuan bahasa Inggrisnya yang baik (kualitas yang dibutuhkan untuk pergaulan politik internasional saat ini), juga kemampuannya untuk memainkan diplomasi yang elegan. Rizal adalah seorang “lobbyist” yang setahu saya sangat pandai.

Dia mempunyai “warna suara” yang dibutuhkan oleh seorang orator yang baik. Kemampuannya untuk menyampaikan pidato yang baik, di mata saya, sangat mengesankan. Saat Rizal menyampaikan sebuah pidato, seseorang merasa “dilibatkan”. Inilah salah satu syarat penting dari seorang orator yang baik.

Menyaksikan dari dekat (jangan salah: maksudnya lewat televisi) proses pemilu untuk presiden 2008 di Amerika Serikat saat ini, saya sadar pentingnya sebuah orasi atau pidato dalam dunia politik. Memang orasi bukanlah segala-segalanya. Tetapi orasi adalah piranti penting dalam sebuah proses politik di masyarakat yang demokratis, sebab politik juga adalah sebuah seni untuk membujuk publik. Hanya dalam masyarakat yang otoriter dan tertutup saja, seni orasi dibenci, sebab segalanya-galanya ditentukan melalui sebuah komando. Publik tak perlu dibujuk, tetapi dipaksa.

Menurut saya, politik kita di Indonesia saat ini kering dari orasi yang baik, cerdas, dan menggugah, orasi sebagaimana pernah saya saksikan saat Barack H. Obama memberikan pidato yang mengulas soal ras berjudul “A More Perfect Union” yang ia sampaikan pada 18 Maret 2008 di Constitution Centre, Philadelphia.

Demi Tuhan, saya menangis saat mendengarkan pidato itu. Inilah pidato yang menggabungkan semua elemen yang dibutuhkan untuk sebuah orasi yang akan terus diingat oleh publik, orasi seorang “virtuoso”: seni berkata-kata yang tinggi, kecerdasan, keluasan wawasan, menggugah, akting panggung/podium yang lihai, permainan dengan intonasi, dan kecerdasan bermain dengan kalimat-kalimat yang “quotable” atau layak dikutip dan karena itu diingat.

Usai mendengar pidato Obama itu, saya langsung berpikir: ini bukan sekedar pidato, tetapi pendidikan politik bagi publik. Saya bertemu dengan banyak kawan di Amerika, dan mereka selalu ingat pidato itu. Pidato Obama itu mengingatkan publik di Amerika akan orasi legendaris yang pernah disampaikan oleh (saat itu kandidat) Presiden John F. Kennedy pada 12 September 1960 di Greater Houston Ministerial Association. Saat itu, Kennedy dengan jantan dan cerdas menghadapi isu kontroversial mengenai kepercayaan dia sebagai seorang Katolik.

Kutipan pidato Kennedy yang selalu dikenang publik Amerika hingga sekarang adalah berikut ini: “I am not the Catholic candidate for President. I am the Democratic Party’s candidate for President who also happens to be a Catholic. I do not speak for my Church on public matters — and the Church does not speak for me.”

Saya memandang, Rizal mempunyai kualitas-kualitas yang membuatnya bisa mengetengahkan pidato politik yang cerdas dan menggugah publik seperti itu–sesuatu yang dibutuhkan untuk pendidikan politik bagi publik kita.

Seorang tokoh politik yang baik adalah ia yang tidak semata-mata taat dan menurut saja pada kemauan publik, walaupun kemauan atau opini publik itu berlawanan dengan sesuatu yang ia anggap benar. Tentu seorang tokoh politik tidak boleh mengabaikan opini publik, tetapi tokoh yang baik adalah ia yang berani melawan opini itu seandainya memang opini tersebut justru membahayakan kepentingan bangsa dan kemanusiaan.

Mendayung dengan melawan arah opini publik sangat tidak mudah. Kita lihat saat ini para tokoh politik kita membuat terlalu banyak kompromi di berbagai bidang, terutama dalam wilayah yang menyangkut dasar-dasar pokok dari konstitusi kita. Kompromi itu dibuat karena khawatir akan kehilangan dukungan dari “konstituen agama” terbesar di negeri kita.

Kita perlu seorang tokoh politik yang bisa memainkan keseimbangan antara “mendengarkan” opini publik, dan keberanian mengatakan “tidak” jika opini itu melawan kepentingan bangsa.

Saya melihat potensi itu pada Rizal.

Dengan kualitas-kualitas seperti itu, saya cukup heran kenapa Rizal selama ini tidak mengambil keputusan untuk maju ke depan dari barisan anak-anak muda, mencalonkan diri sebagai pemimpin bangsa ini. Dengan kebiasaan Rizal selama ini untuk selalu bermain “di balik layar”, saya menduga, jangan-jangan ia memang memilih peran seperti itu.

Tetapi dugaan saya itu salah. Rizal ternyata sekarang telah mengambil keputusan lain, dan saya anggap itu adalah keputusan yang baik dan tepat pada waktunya. Ia telah dengan berani mencalonkan dirinya menjadi kandidat presiden.

Rizal yang alumni UGM Yogyakarta ini meraih gelar doktor ilmu politik dari Ohio State University (OSU), Columbus, Amerika Serikat. Ia lahir pada 29 Oktober 1964. Dengan demikian, ia sekarang berumur 44 tahun. Saat ini, Barack Obama yang sudah definitif menjadi calon presiden AS dari Partai Demokrat, berumur 47 tahun (ia lahir 4 Agustus 1961). Pada saat John F. Kennedy terpilih menjadi presiden Amerika Serikat pada 1960, mengalahkan calon dari Partai Republik, Richard Nixon, ia berumur 43 tahun. Rentang umur antara 40 dan 50 tahun adalah usia yang sangat ideal untuk menjadi tokoh politik, termasuk menjadi presiden.

Rizal memenuhi kondisi ideal itu. Jika Rizal mampu meyakinkan publik bahwa dialah kandidat yang tepat untuk memimpin negeri ini, dan benar-benar terpilih menjadi presiden pada pemilu 2009 mendatang, maka dia akan menjadi presiden termuda dalam sejarah Indonesia, sebagaimana John F. Kennedy adalah presiden termuda dalam sejarah Amerika Serikat.

Tantangan terbesar yang harus dihadapi Rizal adalah partai politik mana yang akan mencalonkan dirinya. Rizal secara teknis saat ini bukanlah bagian dari partai manapun. Sementara itu, partai-partai besar saat ini sudah tampak memiliki calonnya masing-masing, mungkin kecuali Golkar.

Ini tantangan berat yang tentu tidak mustahil bisa ditaklukkan oleh Rizal. Tantangan berikutnya adalah meyakinkan publik bahwa dia adalah kandidat paling tepat untuk menjadi presiden mendatang. Saya sudah mengemukakan alasan-alasan kenapa Rizal adalah pilihan yang tepat untuk Indonesia mendatang. Selebihnya, Rizal akan diuji untuk mengeluarkan seluruh energi dan jurus-jurusnya untuk meyakinkan publik.

Rizal, go ahead, you have my vote!

Ulil Abshar-Abdalla

Rizal Mallarangeng for President

Posted in Berita with tags on Juli 13, 2008 by rizalmallarangeng

Rizal Mallarangeng for President
Sabtu, 12 Juli 08 (14:44) – oleh : admin

Jakarta, Sumbawanews.com.- Bisa jadi terinspirasi dengan langkah Barack Obama yang memanfaatkan jejaring sosial online untuk  mempopulerkan diri sebagai calon president Amerika Serikat, kini Direktur Eksekutif Freedom Instutite Rizal Mallaranggeng memanfaatkan situs populer Facebook untuk menyampaikan visinya sabagai kandidat muda presiden RI mendatang.

Rizal secara resmi menyapa member Facebook pada Jum’at (11/7) pukul 1:50am, dalam pesan pembukannya Rizal menulis Selamat datang di facebook saya. Saya mengajak Anda untuk bersama-sama melakukan perubahan. Saatnya Indonesia mempunyai pemimpin baru dari generasi baru. Kita bangun masa depan yang lebih baik dan bermartabat. Terimakasih atas dukungan Anda.

Sapaan Rizal juga muncul dalam bahasa Ingris dengan kalimat I want to change our country, Indonesia, to a better future. I need your support. Please join me by counting yourself in this link: http://www.facebook.com/profile.php?id=1050487418#/p

Alamuni PhD, Political Science, Ohio State tahun 2000 menantang pengungjung facebook dengan Quote pendek “Rizal Mallarangeng is running for president. Give your opinion.”

Meskipun facebook Rizal baru berusia sehari, jaringan facebook pemandu acara Save Our Nation di Metro TV ini sudah mencapai 248 orang.

Sekjen Transparansi Internasional Indonesia (Ti-Indonesia) Rizal Malik dalam ruang komentar menulis Rizal Mallarangeng for President? Why not? Kita perlu pemimpin muda yang dapat memberi harapan di tengah-tengah calon Presiden “muka lama”. Tapi apa yang sudah anda lakukan untuk negeri ini? Di mana anda ketika rakyat menjerit karena himpitan kebijakan ekonomi Pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat? Di mana anda ketika rakyat Sidoarjo menderita karena kejahatan korporasi Lapindo Brantas? Apa platform politik anda untuk memberantas kemiskinan? Menyediakan lapangan kerja? Memberantas korupsi? Mengurangi kesenjangan antar kelas dan antar wilayah? Kalau anda tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan meyakinkan, milyaran rupiah yang anda habiskan untuk iklan televisi tidak akan ada gunanya!

Tak ketinggalan dengan pengamat politik Indra J Pilliang yang baru bergabung Sabtu (12/7) dengan jaringan Facebook Rizal menulis Ada berapa anak muda lagi yang akan muncul? Kita lihat pesaingnya. Dan, tinggal pilih!

Begitu juga dengan Ulil Abshar Abdalla yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Boston, mengomentari rencana Celi panggilan akrab Rizal dengan komentar Go, go, go…, Celli! Inilah saatnya kaum muda memimpin. Saya terpukau dengan keberhasilan Barack Obama yang masih sangat muda untuk menjadi “presumptive candidate” dari Partai Demokrat di Amerika. Di Indonesia, saya kira hal serupa bisa, atau malah bahkan harus, terjadi. Sekali lagi, it’s time for young generation to rule the country with the zeal and agility of youth, but, of course, with the wisdom if the elders. GO GO GO!

Alpha Amirrachman dari Universiteit van Amsterdam juga mempertegas dengan komentar Welcome to Facebook, Bang Rizal..! Rizal Mallarangeng for President via Facebook? That sounds like a revolution…! 🙂 I wish you all the best…!

Mau gabung dengan jaringan Facebook Rizal Mallarangeng, temukan di hyperlink http://www.facebook.com/pages/Rizal-Mallarangeng/19204343509 .(sn01)